Pada 1970, Dreyfus bersaudara melakukan penelitian yang menghasilkan model tingkat pembelajaran keahlian. Mereka menemukan bahwa seiring bertambahnya tingkat kepakaran kita, apa yang terjadi bukanlah sekedar pertambahan wawasan dan keterampilan. Alih-alih, kita juga mengalami perbedaan fundamental pada bagaimana kita merpersepsikan dunia, bagaimana kita menghadapi masalah dan juga pada model berpikir yang kita bentuk dan pilih untuk gunakan.
Kita semua tidak bisa disebut sebagai ‘amatir’ atau ‘pakar’ atas segala hal. Kita sesungguhnya berada pada salah satu pada tahap dreyfus untuk ranah keterampilan tertentu. Anda bisa jadi amatir dalam memasak tapi jagoan di bidang programming, atau sebaliknya.
Jika Anda ingin mengukur tingkat keahlian demi kepentingan rencana pemberian kontribusi, perencanaan karir atau untuk minta naik gaji, mari kita cermati sama-sama deskripsi tentang tingkatan kepakaran berikut ini.
Amatir, secara definisi, hanya punya sedikit sekali atau bahkan sama sekali tak punya pengalaman sebelumnya terkait ranah keterampilan tertentu. “Pengalaman” di sini artinya untuk melakukan skill tertentu ini masih butuh perubahan dalam berpikir. Sehingga jika semisal ada seorang developer (programmer) membuat klaim bahwa dia telah miliki pengalaman 10 tahun, namun realitasnya dia hanya punya setahun saja pengalaman yang lalu direpitisi sebanyak sembilan kali, maka itu tidak terhitung sebagai “pengalaman” yg kita maksud di sini.
Maka sekarang mari kita mengevaluasi, “Apakah sudah betul hitungan kepakaran kita? Apakah kita hanya sekedar merepetisi pengalaman hingga beberapa kali?”
Para amatir begitu resah dengan kemampuan mereka untuk bisa berhasil: dengan sedikitnya pengalaman yang dipunya, mereka tak ada gambaran pasti terkait apakah yang mereka lakukan bakal berhasil. Para amatir pada dasarnya tidak benar-benar ingin belajar; mereka Cuma ingin merampungkan atau mencapai target pragmatis. Saya semisal, sampai sekarang masih tidak paham tentang urusan pajak dan juga tidak mau tahu. Yang penting urusan beres. Maka yang awam seperti ini biasanya tak tahu bagaimana cara menyikapi kesalahan, sehingga rawan jadi bingung manakala tiba-tiba kondisinya berjalan di luar rencana.
Namun mereka bisa cukup efektif manakala diberikan panduan untuk diikuti, yakni semisal dalam bentuk “Pokoknya kalau X terjadi, lakukan saja Y.” Dengan kata lain, mereka butuh yang namanya resep.
Pernahkah Anda mengajari orang untuk membuat surat undangan di microsoft word? Bagi yang pakar, ketika ditanya bagaimana caranya, dia mungkin akan menjawab dengan, “Ya tinggal cari aja templatenya di bagian new document, lalu terjemahkan dan rapikan kalimatnya. Beres.” Tapi bergantung pada tingkat keamatiran orang yang hendak Anda ajari, bisa bisa Anda harus membuat panduan seperti berikut:
Kalau begini kapan selesainya? Tapi memang untuk amatir Anda memang harus membuat panduan semacam itu kan? Entah untuk urusan membuat daftar isi otomatis di microsoft word atau mengisi setrum aki mobil, jika memang untuk amatir, memang harus ada panduan step by step. Namun sampai batas tertentu, kita harus berhenti medefinisikan secara eksplisit karena bagaimanapun susah untuk membuat jabaran sampai sedetail-detailnya.
Begitu tahap amatir terlampaui, seseorang mulai melihat masalah dari cara pandang Amatiran Tingkat Lanjut, atau kita singkat saja ATL. ATL mulai bisa melepaskan dirinya dari panduan fix dan melakukan sendiri task tertentu, tapi tetap saja punya kesulitan untuk urusan troubleshooting.
Mereka butuh informasi secara cepat. Misal saja seseorang yang sedang mempelajari aplikasi baru semacam autocad atau MYOB, maka yang dia lakukan adalah scanning dari buku panduan untuk menemukan apa persisnya yang dia butuhkan. Dia tidak mau diribeti dengan teori yang panjang dan apa-apa yang bersifat basic lagi.
ATL bisa mulai menggunakan nasehat di konteks yang tepat, berdasarkan situasi serupa yang telah mereka jalani baru-baru ini saja. Dan meskipun mereka sudah bisa membuat kaidah versi mereka sendiri, tapi dari mereka tidak ada yang namanya ‘the big picture’. Mereka tidak punya pemahaman yang holistik dan juga belum menginginkannya. Jika kita memaksakan kepada mereka konteks yang lebih besar pada orang-orang ATL, mereka amat bisa jadi menganggapnya tidak relevan bagi mereka.
Contohnya begini; pernahkan ikut rapat di mana para bos menunjukkan chart/grafik tentang proyeksi penjualan perusahaan dan semacamnya. Atas informasi ini, para karyawan yang kurang berpengalaman biasanya tak tertarik dan bahkan menganggap informasi itu tidak relevan dengan pekerjaan mereka. Padahal tentu saja itu sangat relevan dan bisa menentukan apakah karyawan yang bersangkutan akan tetap bisa digaji setahun mendatang. Tapi karyawan itu tak akan bisa melihat kaitannya manakala dia masih berada di level keterampilan yang rendah.
Pada tahap ketiga, praktisioner sudah bisa mengembangkan model konseptual atas ranah masalah dan bekerja dengan model tersebut secara efektif. Mereka bisa memecahkan masalah (troubleshoot) sendiri dan mulai ada gambaran bagaimana memecahkan masalah yang masih baru bagi mereka. Mereka sudah mulai bisa mencari dan menerapkan nasehat dari para pakar serta menggunakannya secara efektif.
Tidak sekedar mengikuti panduan yang ada, sang Kompeten sudah berkemampuan untuk mencari sendiri masalahnya apa dan lalu memecahkannya. Kerja mereka didasarkan atas perencanaan sengaja dan pengalaman masa lalu. Namun mereka masih kurang punya pengalaman untuk bisa menentukan detail manakah yang harus difokuskan pada problem solving.
Orang-orang seperti ini biasanya menjadi pimpinan dalam tim (baik formal maupun tidak). Mereka bisa memandu para amatir dan mereka sudah bisa mandiri tanpa banyak mengganggu para pakar. Namun mereka belum punya kemampuan untuk lakukan refleksi dan koreksi diri, yang merupakan kemampuan dari tahap berikutnya: fasih.
Praktisi yang fasih membutuhkan gambaran besar. Mereka akan mencari dan ingin mengetahui framework konseptual lebih besar di seputar keahliannya. Mereka bisa jadi akan merasa tak puas hingga jengkel dengan informasi yang terlalu mendasar. Sehingga jika membantu orang seperti ini via telpon terkait masalah teknis dengan komputernya, jangan sekali-kali menanyakan apakah colokan listriknya sudah terpasang. Itu hanya akan membuat dia gemes atau jengkel.
Praktisi yang fasih sudah bisa memperbaiki performa buruk mereka sebelum-sebelumnya. Mereka bisa merefleksi apa-apa yang telah dilakukan dan merevisi pendekatan mereka untuk bisa berperforma lebih baik di masa depan. Namun di tahapan ini, bentuk-bentuk self-improvement masih belum dimungkinkan.
Praktisi yang fasih sudah bisa belajar dari pengalaman orang lain. Mereka belajar dari studi kasus, belajar dari obrolan teman-teman tentang cerita orang lain, mengamati dan belajar dari apa-apa yang orang lain lakukan, dan juga belajar dengan baik dari cerita, meskipun dia tidak mengalaminya sendiri.
Mereka juga sudah berkemampuan untuk memahami dan mengaplikasikan maxims, yakni aturan umum untuk diaplikasikan pada kasus yang dihadapi dalam konteks tertentu. Semisal saja, ketika seorang juru masak fasih menemukan arahan, “Untuk dapatkan hasil terbaik, panggang semua daging yang berasal dari unggas”. Bagi sang amatir, ini adalah resep, dan mereka masih membutuhkan informasi atas “Dipanggang di mana? Berapa lama? Pakai bumbu apa? Daging unggas yg bagian kepala atau paha atau semuanya?” Dan akhirnya mereka pun memanggang dengan cara yang salah. Namun bagi juru masak yang fasih, semua itu sudah mereka mengerti tanpa perlu didetailkan.
Praktisioner yang fasih telah punya pengalaman cukup sehingga mereka tahu apa yang sekiranya akan terjadi berikutnya; dan ketika sesuatu berjalan tidak sesuai rencana, mereka tahu apa yang perlu dilakukan untuk menyikapinya. Mereka juga tahu rencana manakah yang perlu dibuang dan mana yang perlu diterapkan sebagai gantinya.
Akhirnya, di tahap ke-5, adalah tingkatan para pakar.
Pakar adalah sumber utama pengetahuan dan informasi di seluruh bidang keilmuan. Mereka adalah orang-orang yang secara terus menerus berusaha mencari metode dan cara yang lebih baik. Mereka telah miliki pengalaman sedemikian luas sehingga mereka bisa mengerti apa-apa yang perlu diterapkan sesuai dengan kontek situasinya masing-masing. Mereka adalah orang-orang yang menulis buku, artikel dan memberi ceramah.
Dalam bekerja, sang pakar menggunakan intuisi, bukan dari logika pada umumnya (kita mungkin akan bicarakan tentang intuisi ini di lain waktu). Dan meskipun mereka bisa melakukan hal-hal tertentu bagai sihir, seringkali mereka juga bingung ketika diminta menjlentrehkan atau menjabarkan secara detail langkah per langkah menuju suatu hasil tertentu yang mereka bisa raih. Seolah mereka berkata, “Ya pokoknya saya tahu.”
Semisal saja, ada seorang dokter diminta memeriksa pasien yang baru saja check in. Sekilas saja, sang dokter berkata ke perawat, “Menurut saya pasien ini terkena sindrom Blosen-Platt, maka sebaiknya lakukan tes untuk itu.” Sang perawat pun melakukan tesnya, dan benar saja, penilaian sang dokter ternyata akurat. Bagaimana dia bisa tahu? Kita bisa bertanya, tapi mungkin si dokter akan menjawab dengan “Iya, tadi ada yang kelihatan ndak beres dari pasien itu”. Ya jelas saja pasiennya ndak beres, maka itu dia sampai masuk rumah sakit. Tapi bagian mana tepatnya itu?
Entah bagaimana, dari sekian banyak pengalaman yang dimiliki, penilaian tersaring, ingatan, dan seluruh serpihan pemikiran di otak sang dokter, kombinasi tertentu dari clues atau petunjuk yang halus membuat sang dokter sampai pada kesimpulannya. Mungkin dari tingkat kepucatan kulit dan bagaimana cara duduk pasiennya – siapa tahu?
Ya para pakar yang bisa tahu tentang itu. Para pakar tahu beda antara detail yang tak relevan dan detail yang penting untuk diperhatikan. Mungkin bukan pada tingkat pemikiran sadar, yang jelas para pakar mengetahui detail manakah yang patut untuk diberi fokus dan perhatian dan detail manakah yang bisa secara aman tak dihiraukan. Para pakar punya kemampuan bagus dalam menarget dan memasangkan pola.
Lantas, jika sudah tahu demikian, maka sekarang tinggal mengupayakan betul bagaimana agar kita bisa menjadi pakar di bidang apapun yang kita inginkan.
semakin tinggi levelnya semakin sedikit menggunakan hitungan di atas kertas karena semua sudah bisa didekati dengan intuisi
betulkah begitu, bang guntar?
entah kebetulan atau tidak, pembahasan poin ke 5 malah mengingatkan saya tentang buku “blink” karya Malcolm Gladwell, expert berpikir dengan tanpa berpikir 🙂
Mas Guntar ini kapan masuk televisi, spt pak Mario Teguh ya.. jadi ilmunya bisa di bagikan ke masyarakat.. biar bangsa Indonesia lebih Tangguh lagi…
Budiono: Betul sekali, Master. Padahal klo kita kuliah masih kudu sering pake kalkulator dan ngerjakan tugas dg tulis tangan di kertas 😀
Aditya: Iya, betul memang, yg Outlier :-). Ini juga memper dg bahasan unconscious competence nya NLP.
Ajeng: baru bersedia terkenal dan berbagi di TV klo udah punya kematangan dan kedigdayaan diri yg tingkat kontributifnya optimal. Spt Mario Teguh yth,saya tidak terburu. InsyaAllah baru di usia 45 ke atas saya berbagi televisi 🙂
Oooo.. jadi gitu bedanya berobat ke dokter senior sama ke dokter yg baru (atau malah belum) lulus… he he he