Dalam ilmu pengembangan diri, penetapan tujuan beserta strategi untuk mencapainya adalah suatu kelaziman. Kejelasan dari apa yang kita impikan dan langkah praktis untuk menuju ke sana menjadi semacam blue print bagi skenario pembelajaran diri kita. Lebih jauh lagi, kejelasan impian itu memberikan pedoman untuk menentukan prioritas serta ketegasan untuk berkata “IYA” ataupun “TIDAK” secara bijak atas berbagai pilihan dalam hidup.
Namun saya melihat bahwa ternyata cukup banyak juga orang penting di dunia bisnis yang tidak membuat deskripsi impian dan skenario untuk mencapainya semenjak dini di usia kehidupan mereka. Sebut saja semisal pribadi yang dinobatkan sebagai pemimpin bisnis terbaik 2005 oleh Business Week; pemilik teknologi iPod, Steve Jobs, CEO dari Apple Computer dan Pixar Animation Studio.
Dulunya Steve Jobs adalah mahasiswa drop out yang kemudian menekuni ilmu kaligrafi. Dia belajar tentang huruf serif dan sans serif (nama font di komputer) seperti yang kita temui sekarang di program pengolah kata. Dia belajar juga tentang bagaimana memvariasikan jarak untuk setiap kombinasi huruf yang berbeda, dan juga tentang apa yang merancang sebuah tipografi huruf agar menjadi tampak luar biasa. Dia belajar tentang keindahan, aspek historis, serta nilai-nilai artistik dari huruf yang dia katakan tidak bisa tertangkap oleh sains. Dan dia sungguh amat menikmatinya.
Pengalaman itu pada awalnya tidak dia rasakan membawa manfaat riil apapun bagi kehidupan pribadi apalagi kariernya. Namun sepuluh tahun kemudian, ketika dia mendesain komputer Macintosh pertamanya, semua hikmah pengalamannya itu datang pada dirinya. Dia mengaplikasikan seluruh ilmu kaligrafinya pada Mac, yang menjadi komputer pertama dengan tipografi huruf yang indah. Dia mengatakan kalau saja dia tidak pernah membolos kuliah, dia tidak akan pernah belajar tentang kaligrafi, dan komputer yang kita gunakan sekarang mungkin tidak akan memiliki bermacam jenis font yang indah (ingat bahwa Microsoft Windows mengadopsi Mac).
Dia mengaku bahwa tidak mungkin bagi dirinya saat berkuliah dulu untuk bisa menyambungkan titik-titik pengalamannya menjadi sebuah untaian hikmah bermakna. Tapi dia baru benar-benar bisa melihatnya dengan jelas sepuluh tahun kemudian – dengan menoleh ke belakang.
Beberapa atau banyak dari kita barangkali memiliki pengalaman yang sama sekali tidak terprogram, namun kita seperti lebih memiliki kecenderungan hati atau kemudahan dalam menjalaninya; terlibat riset untuk Mawapres, mengikuti pelatihan kepemanduan dan menjadi pemandu pelatihan, mendapatkan IPK di atas rata-rata atau bahkan sebaliknya, terlibat aktif di organisasi tertentu. Apapun itu, banyak sekali pengalaman tak terencana dan tak terduga terjadi pada diri kita. Lantas bagaimana sikap kita terhadap itu semua?
Saya mengajak Anda untuk meyakini bahwa “Everything happens for a reason”, entah kita mampu menyadarinya dengan segera atau tidak. Sesungguhnya masa lalu kita meninggalkan jejak dan memberikan petunjuk. Semua pengalaman itu akan bisa terangkai menjadi sebuah kecenderungan peran tertentu; apakah menjadi dosen, peneliti, public speaker, entrepreneur, technopreneur, atau apapun itu, semua bisa dilacak dari masa lalu kita. Setiap pengalaman pasti memberikan pembelajaran kompetensi yang unik, yang tidak bisa didapat jika kita mendapat pengalaman berbeda.
Sesungguhnya Tuhan akan memudahkan kita dalam mengalami segala kejadian yang membuat diri kita menjadi seseorang yang unik, berbeda secara peran dari yang lain. Tugas kita bukanlah untuk menciptakan peran yang tepat, melainkan menemukannya. Untuk itulah kita perlu selalu menghargai, mensyukuri dan juga berprasangka baik kepada Sang Maha Pengasih atas segala bentuk pengalaman yang dikehendaki-Nya terjadi pada diri kita.
Salah satu cara mudah untuk membaca masa depan kita adalah dengan melihat saat ini; apakah yang paling getol kita lakukan sekarang? Apakah kita getol berlatih menjual, menulis artikel, merancang business plan, memandu pelatihan: masa depan kita sesungguhnya tak jauh-jauh dari itu. Apa yang kita tanam sekarang adalah apa yang akan kita tuai nanti.
Sementara untuk melihat kecenderungan kompetensi, kita perlu menengok ke belakang; segala pengalaman, prestasi bahkan pengalaman buruk kita di masa lalu. Semuanya menjadikan kita belajar sesuatu, dan semuanya bahkan membentuk karakter kompetensi yang unik untuk setiap diri kita. Semua itu ada bahkan untuk memberikan kita petunjuk tentang peran di masa depan yang paling tepat untuk kita jalani.
[tags]Pengalaman, Kompetensi, Manajemen Karir, Perencanaan Karir, Pekerjaan, kompetensi[/tags]
Gaya..
Udah bisa bikin executive summary ya..
Pull out gitu deh namanya..
whatever, do the best ya!!
hmm… baru sempet mbaca artikel2 lama nich aku