“The luckiest man is one whose hobby and profession are same.”
Yes, no doubt about it. Tapi kenapa kok ndak sebegitu gampangnya orang2 berprofesi/berbisnis sesuai dg hobi?
Kebanyakan kita barangkali telah tau bahwa hal pertama yg musti dilakukan adalah menemukan (dan mengingat2) ketertarikan dan kecenderungan terbesar – terkait ragam aktivitas yg Anda nikmati, lingkungan kerja yg Anda sukai, teknologi yg Anda suka utk bekerja dengannya, serta macam orang yg Anda suka utk bekerja dengannya. Nyatanya memang ndak sangat gampang juga untuk menemukan ini, karena seringkali alasannya sekedar lupa atau ndak dg sengaja menyempatkan untuknya.
Saya termasuk yg beruntung kerena telah cukup peka dalam membaca kecenderungan pengalaman & kompetensi, sehingga saya tidak perlu menjalani gaya hidup profesi yg tidak saya sukai. Tapi yg jelas gini, ndak semua orang sudah sejak awal (katakanlah sejak awal kuliah atau bahkan sejak SMA) sudah menemukan arahan hidup mereka. Tidak semua dari kita seperti Michael Jordan, Tiger Wood atau Agnes Monica yg sudah sejak kecil sudah tau mereka akan jadi apa dan berdedikasi menuju ke sana. Tapi tentu tidaklah lantas terlambat bagi Anda untuk menemukan minat dan bakat terbesar sejak sekarang, di usia berapapun Anda.
Nah, salah satu hambatan juga adl ketika kita terlalu meremehkan hobi kita sendiri. Apa yg bisa jadi bisnis dan profesi kita bisa jadi adl hobi yang sudah jadi keseharian tapi ndak kita anggap serius karena anggapan non produktif di awal.
“Tukang pembuat sepatu yg handal sudah pasti akan lebih dihargai ketimbang aktor/aktris yg ndak kompeten”
Terkadang (seringkali?) sebuah profesi tidak dianggap keren krn dia yg menjalani tidak populer dan tidak juga terkenal di media massa & elektronik. Atau bisa jadi pilihan profesi hanya didasarkan pada seberapa cepat kah ia bisa mendatangkan uang. Ketika kita melihat atau mendengar kesuksesan dan prestasi seseorang, tentu akan lebih baik untuk menjadikan itu sebagai motivasi. Bicara yg ideal memang gampang, tapi toh kadang reaksi awal kita tidaklah seperti yg diharapkan; -entah kenapa- kok malah ngerasa iri, sakit hati mungkin, depresi dan juga geram. Apa yg jadi jebakan adl ketika kita kemudian berusaha meraih apa yg orang lain raih, karena kita tyt masih haus akan pengakuan -dari orang tua, pasangan hidup, teman sepergaulan, tetangga atau yg lain.
Padahal klo sudah kadung masuk di kerjaan yg salah (=ndak sesuai bakat & minat), peluang untuk berpindah profesi jadi lebih kecil. Kok bisa? Ya banyak sebab. Bisa jadi krn ybs sudah kadung menikah & punya tanggungan (ini yg paling utama), bisa jadi krn ybs sudah merasa dirinya terlalu tua dan terlambat, bisa jadi krn sudah kadung nyaman, ndak punya teman seperjuangan, atau alasan yg lain.Merasa malu krn dibanding2kan dg orang lain yg dituduh sukses oleh semisal istri atau mertua memang menyakitkan, tapi klo sudah kadung terjebak di pekerjaan, karir atau profesi yg salah, penderitaan yg dirasakan bakal berdurasi amat panjang.
Kisah tentang orang2 yg berpindah karir bisa jadi terkesan ekstrim. Ada cerita seorang psikolog anak yg malah jadi sopir taksi krn dia begitu suka berkendara dg mobil keliling2 kota. Ketika ditanya kenapa kok nasib karirnya begitu menukik tajam gitu (persepsi si penanya ttg karir yg sukses), dia menjawab bahwa seseorang harus melakukan apa2 yg dia harus lakukan tanpa mempedulikan apa kata dunia. (jadi teringat sesuatu nih )
“Hobbies are more a measure of a man than profession is.”
Adalah kobaran hasrat & kompetensi yg menjadikan seseorang mencapai puncak dari bidang yg digelutinya. Banyak pakar HRD yg kemudian menyebut bahwa kecintaan pada profesi itu lebih penting ketimbang kompetensi. Apa yg penting dari menggeluti profesi atau karir adalah adanya perasaan bersemangat & menanti2 ketika berangkat kerja, serta merasa terpenuhi scr batin, tertantang, terlegakan dan termotivasi ketika sedang bekerja utk profesi itu. Lontaran para pakar HRD itu akhirnya malah menjadikan seminar motivasi kerja menjadi tak relevan. Sejak awal, mestinya ditanyakan apakah pekerjaannya sudah scr alami menjadikan ybs termotivasi.
cuma modal hobi pasti belum cukup…masih ada faktor teknis berbisnis yang juga musti dikuasai…iya tho?
Hedi’s last blog post..Ultah Presiden
wah kadang saya bermimpi bisa ngak saya berpenghasilan dari hobi ngeblog hehehe :Dsaya masih punya motivasi dalam berkarir tidak melalui hobi.kadang juga kalo disatukan hobi dan kerja malah ngak bisa bekerja maksimal dan atau berhibur dengan nikmat.kalo kerjaan sumpek ada hobi bisa dinikmati hehe 🙂
aRuL’s last blog post..SPMB dan duit
menurut saya, karena ya emang yg namany bisnis itu semuanya susah, gak ada yg gampang
harus banyak persiapan dan banyak modal untuk memulai bisnis. tidak hanya kesenangan belaka
Hedi:
Betul sekali, yg namanya berbisnis tentu butuh kompetensi, jaringan, permodalan finansial dsb. Tapi apa yg penting adl kita memulainya dg hobi sbg bahan bakar untuk bersedia mendapatkan seluruh sumberdaya yg dibutuhkan utk berbisnis.
aRul:
Seperti yg sudah saya sebutkan di posting berbisnis dg hobi, memang tidak semua hobi bisa dg mudah dikonversi jadi profesi (khususnya krn kita di Indonesia). Realitanya, konversi dari hobi ke profesi tidaklah selalu bisa sedemikian langsung atau mentah2.
Semisal seseorang yg berhobi sulap, tidak lantas dia harus jadi pesulap. Ya memang bisa, tapi kita juga perlu pertimbangkan feasibility dr hobi itu sendiri sbg suatu profesi tunggal. Ada market demand & faktor lain yg perlu dipertimbangkan. Shg yg perlu dilakukan adl mempertemukan -mengawinkan- hobi -dlm contoh ini adl sulap- dg konteks pekerjaan lain, misal dg public speaking, event organizing, house production, child care, baby sitting, production house, advertising, franchising, dsb. Ini menjadikan seseorang belajar kompetensi2 komplementer yg sudah jadi kewajiban utk saat ini.
Seseorang yg gemar menulis semisal, bisa memilih jd penulis novel, dan itu adl contoh raw conversion dari hobi ke profesi. Tapi dia juga bisa memilih utk mjd blogger professional yg mana dia perlu belajar ttg SEO, social networking, blog optimization, dan beragam aspek teknologi lain. Semakin luas kompetensi komplementer (pelengkap/pendukung) dan semakin pandai menemukan ceruk yg miliki tema dasar sesuai hobi, maka semakin besar pula pencapaian (semisal finansial) yg seseorang dapatkan.
Kamal & Antown:
Betul, yg namanya bisnis -apalagi memulainya- memang ndak gampang, dan malahan juga ndak sebentar. Dia yg menjalani -saya rasakan sdr- harus bersedia berada dlm kondisi yg scr finansial tertinggal dr rekan2 satu angkatannya. Dusta klo ada yg bilang klo berbisnis itu gampang. Shg justru krn itulah maka seseorang perlu memulai dan menjalaninya atas dasar hobi dan kesukaan shg kala menjalani dia tetap bisa bersyukur pd Tuhan dan berkata “It’s really worth it” 😉
Perlu saya tekankan, bahwa issue mendasarnya adl berprofesi/berbisnis atas dasar hobi/preferensi. Tidak lantas merupakan anjuran utk serta merta keluar atau berpindah pekerjaan. Pun tidak serta merta saya mengajak seluruh pembaca utk berbisnis. Jika memang sudah menikmati dan menjalani dg penuh bersyukur dlm profesi sbg karyawan, dosen atau yg lain, that’s good. Gagasan pentingnya adl kita most likely akan bisa jadi luar biasa di bidang apapun yg kita geluti klo kita punya kesukaan & penghargaan yg tinggi atasnya. Utk mereka yg jadi dosen, ndak usah berpikir jadi entrepreneur tu lebih keren dan mulia. Justru cara pandang inilah yg saya sebut jd salah satu penghalang utk sukses. Sesungguhnya kita bisa jadi luar biasa dan berguna dalam bidang apapun kita, asal kita menikmati dan bersedia utk luangkan resource kita utk terus jd lebih baik di sana.
Hobinya sih kelihatannya asyik, tapi berbisnisnya itu rasanya yang nggak mudah. Tapi kalau berbisnisnya itu bisa betul-betul seiring dengan hobi, termasuk dalam hal kemampuan menikmatinya, bagus banget tuh…
Bisnis itu ada faktor a-z yang musti dilihat, jadi hanya hoby saja tidak cukup, tapi yang paling penting tuh daya tahan
Betul daya tahan harus menjadi modal, dan juga mental ber-wirausaha. “small step is better than nothing”
wah klw berbisnis sesuai hobby kita alangkah senangnya. seperti kata iklan rokok: bikin hidup jadi lebih hidup. aku punya hobby membaca,jalan-jalan dan bertemu orang2, tapi pekerjaanku adl accountant yg duduk di belakang meja dan berkutat dgn angka2. ngak nyambung banget yah!istilahnya: ngak gue baget gitu loh!tp mau gimana lagi????aku sih pingin ganti haluan, tp bisnis apa ya yg cocok dgn hobiku itu????pls, I need an advise…
Klo dari pengalaman pribadi, bentuk bisnis yg paling pas buat kita tu didapat dari metamorfosa pengalaman. Yg penting, jalani dulu! 🙂 Coba deh mulai dokumentasikan hasil jalan2, membaca dan ketemuan ama orang dlm bentuk2 yg menguntungkan orang lain. Kunci bisnis adl berikan benefit -entah berupa kesenangan, kemudahan, bantuan, dsb- kepada orang lain. Semakin cepat terjun, semakin kita bisa temukan bisnis ideal bagi kita.
🙂
Hobby yang menjd dasar tuk berbisnis membuat pekerjaan lebih menyenangkan tapi masih kurang dari cukup.dibutuhkan jg visi…
hobi=kesenangan, bisnis=duit kalau kita berhasil mengawinkannya, wah itu impian saya. yoi setuju hobi itu hanya sebagai bahan mentahnya, untuk menjadikan bisnis sebagai sandaran hidup butuh banyak aspek pendukung lainnya. Tapi karena dasarnya bobi saat menemukan rintangan tidak akan mudah patah semangat dan secara moril akan cepat bangkit lagi. Beda dengan yang hanya termotivasi uang saja.
saya rasa hubungan pekerjaan dan kesempatan yang kini ada adalah seperti mewujudkan selera makan. berapa uang kita itu yang bisa kita belikan, lebih puas memang memasak sendiri, jika tahu bahan dan cara memasaknya, dan lidah yang berkualitas. nggak relevan ya?