Jadi Pemenang Tanpa Curang

Play by the rule – compete fiercely and faiely – but no cutting in the line.


Buku Winners Never Cheat adalah buku yg menarik. Direkomendasikan oleh pimpinan saya, buku ini berbicara banyak tentang kiprah nurani dalam bisnis.

Kita tahu sama2, cari uang tu gak gampang. Proyekan ada di mana2, tapi untuk start-up bisnis terutama, semua tampak susah tergenggam. Ada yg bilang, “Cari yg haram aja susah, apalagi cari yg halal”. Mblegedesh, gatel banget ama ucapan ini. Berbagai argumentasi yg bilang bahwa “kecurangan dibutuhkan agar kita bisa kompetitif dalam bisnis” juga mbikin diri gerah kepalang.

Sok suci kah kita klo dg lantang bilang bahwa sukses datang pada mereka2 yg miliki skill, integritas, kejujuran, ketulusan dan kemurahhatian? Dalam bukunya ini, Jon M. Hunstman ungkapkan banyak sekali contoh2 orang besar dalam bisnis yg unggul dg nuraninya.

Banyak yg menggunakan dalih2 bahwa mereka dipaksa atas kebohongan, kecurangan, dan penipuan2 yg mereka lakukan. Atau yg lebih sederhana,”lha wong yg lain juga pada gitu e”. Beberapa lagi bilang;”Lha cuma itu e satu2nya cara agar tetap bisa bertahan”. Entah emg karena itu, ataukah karena aslinya mereka terdorong oleh sifat2 ketamakan, pengen (segera) dikagumi, pengen (segera) terkenal atau apalah.

Susah emang untuk mendobrak keramaian, untuk tetap teguh di tengah2 mayoritas kebusukan. Butuh keberanian untuk secara lantang berbicara ketika orang lain berpikir bahwa apa2 yg mereka lakukan akan membawa promosi, popularitas yg lebih besar, atau tambahan kekayaan.

Kita tahu bahwa kematangan kedewasaan bukanlah dari kepahaman tentang apa yg salah dan mana yg benar. Melainkan keberanian untuk memilih dan menjalani apa2 yg benar.

Barangkali kita menganggapnya sama; tapi sebenarnya ada perbedaan tegas antara kekaguman dan respect (rasa hormat). Kekaguman terkait dg atribut positif eksternal; sementara sikap respect terkait dengan pengakuan inner-strengh dan karakter seseorang. Kita bisa jadi mengagumi seorang selebritis, tapi ndak lantas kita respect padanya kan. Kita punya respect ke orang2 besar, presiden atau dosen mungkin, tapi kita ndak selalu menyukai mereka.

Beberapa orang mendapatkan keduanya. Tapi klo disuruh milih salah satu; mending kita pilih respect aja. Sama juga bila kita dihadapkan pada kondisi yg mbikin kita kudu milih: antara populer dan lakukan hal yg selaras dg nilai pribadi kita. Maka yg kita pilih tentunya adalah mana yg sesuai dg apa yg kompas pribadi kita katakan. Sebatas ngomong emg gampang, tapi emg beginilah yg seharusnya.

Stand for what is right, not what is popular.

Dalam start-up business terutama, yg harus digarisbawahi adalah integritas, komitmen, percaya diri dan keberanian untuk ambil keputusan. Dan salah satu keputusan besar yg harus diambil pada masa awal adalah dalam memilih orang2 yg mengitari kita. Pastikan mereka miliki value yg singkron dg milik kita dan pastikan mereka miliki standard moralitas mulia yg konsisten dalam masa2 tertekan sekalipun.

Wall Street Journal pernah merangking atribut2 yg dicari oleh perekruit kerja dalam mencari personel baru. Tiga yg tertinggi -dan secara signifikan berada jauh di atas yg lain- adalah skill interpersonal, kemampuan untuk bekerja dalam tim, dan integritas personal. Pengalaman kerja dan strategic thinking masuk di urutan belasan.
Finding Nemo
Apalagi klo pimpinan. Bila pimpinan punya latar belakang ketidakjujuran, organisasi dan siapapun di dalamnya pasti akan membayar harganya. Saya pribadi pernah nih ngalamin, punya pimpinan yg miskin integritas; kapok. Makanya itu, siapapun di kanan kiri kita; pastikan mereka punya persepsi yg sama atas dimanakah letak garis keluar-batasan.

Saya amat bersyukur; di perusahaan yg sekarang kondisinya beda. Klo dulu, kritik & berita buruk disambut dg galak. Dan nyatanya emg cukup banyak pimpinan yg cuman mau ndengerin berita baik dan pujian. Ini gawat. Adalah berbahaya untuk bekerja pada model pemimpin semacam ini. Orang2 yg ndak pernah mau ndenger kritikan dan berita buruk juga nggak mau tau dan peduli apakah mereka udah keluar jalur.

Whistleblower, mereka2 yg ngomongin buruknya perusahaan ke pihak luar, tidak lantas layak didakwa sebagai orang2 yg nggak loyal. Mereka kayak gitu itu karena mereka feeling frustated tentang internal warning system yg ndak beres; di mana orang2 di atas enggan terima kabar buruk.

Klo pimpinan ditunjuk bareng di tempat kerja saya sekarang, dia malah ndak keberatan dibilang pelayan utama. Dan nggak cuman mau dan minta dikritik, dia selalu bisa ungkapkan hal baik dan istimewa dari kerjaan rekan kerja, mau terima kabar buruk, dan gemar berikan kabar baik dan pujian ke orang lain. Sip wis poko’e 8)

Untuk perusahaan yg masih kecil, core values yg selalu dikonsultasikan dengan kompas internal (sang Nurani) jauh lebih penting ketimbang aturan formal perusahaan itu sendiri. Sehingga perangkat nurani inilah yg kudu dijaga baik2.

Manusia kan satu2nya makhluk bumi yg bisa merasa salah dan dosa (selain jin tentunya). Waktu SD dulu, saya ndak pernah tuh ngeliat satu pun dari ke-13 kucing saya merasa bersalah dan menyesal karena makan kebanyakan atau karena habis bertingkah laku ndak sopan. Manusia tu unik, dengan kemampuan yg dimilikinya dalam kenali mana yg bener dan mana yg salah. Dan klo yg dipilih adl yg keliru, kita tentunya akan ngerasa gak nyaman dan takut ketauan orang, bukan?

Apapun kabut kegamangan situasinya, lampu indikator benar-salah dalam nurani kita akan tetap menyala. Meskipun kita ndak dengan sengaja bertanya kepadanya, tapi kompas diri kita akan selalu memberitahu.

Konsisten dg nurani barangkali diartikan sebagai penyederhanaan berlebihan atas dunia persaingan yg sedemikian kompleks dan kompetitif. Ini emang sederhana; and that’s the point!
Moci
Umpamanya ini balapan; wis, lupakan aja deh sapa yg ntar bakal nyampe duluan. Toh kita tau bahwa orang2 kompeten dg mentalitas & perilaku mulia pasti akan sampe garis finis dengan penuh penghormatan, selama di dunia maupun setelah meninggal nanti.

banner ad

21 Responses to “Jadi Pemenang Tanpa Curang”

  1. Putri says:

    hore … pertama … ^_^

  2. dian says:

    yang paling celaka adalah orang yang curang pada diri sendiri
    jangan sampe deh ya

    Tetapi, memang itu, impian seseorang adalah melakoni perilaku mulia dan bisa selamet dunia akhirat…

  3. paman tyo says:

    Etika. Moralitas. Sejujurnya itu susah. Dik Guntar benar, itu juga menyangkut norms and values orang yang kerja bareng kita.

    Tapi dalam batas tertentu, pertahanan diri masih menolong kok.

    Seorang editor menerima sodoran naskah setengah matang dari penulis yang bisa melayout.

    Apa yang pertama kali dijanjikan oleh si editor?

    Pertama: “Saya nggak akan memfotokopi maskah ini untuk alasan apapun”

    Kedua: “Orang lain, terutama bagian bisnis, kalaupun mau melihat harus saya tunggui.”

    Ketiga: “Misalkan kami nggak tertarik, naskah akan saya kembalikan, saya nggak menyimpan kopian, dan sebisanya saya tak mengingat supaya tak terdorong untuk bikin sendiri yang mirip dengan karya Anda.”

    Pada pertemuan kedua si editor bilang:

    “Ini masih penjajakan, tapi saya tak sepakat dengan ancaran harga yang Anda sodorkan. Saya nggak suka sama harga Anda. Sekali lagi: nggak suka! Bagaimana kalau saya lipatkan dua kali?”

    Menjadikan proposal, presentasi, atau lontaran calon mitra bisnis sebagai ilham dadakan untuk dimatangkan dan dijadikan proyek sendiri, apakah itu etis?

    Temannya bilang, “Tapi itu menguntungkan. Itulah kompetisi. Kompetitor juga pada gitu kok. Kita juga sering digitukan.”

    Si Gundah, bukan si Guntar, menyahut, “Kalau begitu apa bedanya kita dengan kompetitor?”

    Martabat dalam bisnis yang sehat adalah beroleh uang banyak dengan cara bersih. “Hayah,” kata tetangga.

  4. S Setiawan says:

    Duh, koneksi duduls.

    Keempat! :-”

    *reply dulu, baca nanti*

  5. Hedi says:

    Sama dengan politik berke-Tuhanan dan beragama, bukan agama berpolitik, mas. Berat memang, tapi paling enggak ada usaha menuju ke arah itu, ikhtiar.

  6. Goio says:

    First, do the RIGHT thing… then make sure you do it RIGHT!
    artinyah:
    Pertama2, lakukan hal yang benar… setelah itu, yakinkan untuk mengerjakannya dengan cara yang benar

    akh, siapa saya sih? sok berfilsafat?…

  7. Guntar says:

    Dian
    Jangan mencurangi dan mendzolimi diri; sepakat, mbak Dian πŸ™‚

    Paman Tyo:
    Wacana yang amat menarik, Paman Tyo. Terima kasih πŸ˜›
    Penekanan saya dlm issue ini adl memastikan dulu rekan kerja terdekat bisa diandalkan dlm menjaga moralitas. Ttg client atau kompetitor yang ngajak nakal, saya pernah ngalami. Pernah tuh berurusan ama oknum pemerintah. Klo dah minta sogokan terang2an banget. Malu & risih banget rasanya ndengerin.
    Emg ada kalanya kita ketemu ama komunitas relasi, kompetitor atau client yang nakal. Tapi apapun, yang penting kita bisa njaga diri agar tidak lantas jadi permisif atas segala keburukan yang ada. Hati kita minimal kudu membencinya.
    Saya sendiri masih baru 4 tahun berbisnis entrepreneur. Masih butuh banyak belajar dan timba pengalaman.

    Hedi:
    Sepakat, mas Hedi. Kita semua punya hak dan kekuatan ikhtiar utk jadi pebisnis yang berakhlak πŸ˜›

    Goio:
    Bagus sekali cara sampean mengungkapkan, mas Goio 8)
    Saya sih ndak nganggep itu sbg filsafat kok; bagi saya itu practical πŸ™‚

  8. daniel says:

    Susah amat jadi manusia berkarakter.
    Wong saya abis makan permen trus nyimpen bungkusnya di kantong gara-gara nggak ada tempat sampah aja dibilang jorok πŸ™

  9. Since says:

    Bisnis yang jujur…? Hmmm…
    Menghargai diri sendiri dan juga menghargai klien/pelanggan adalah hal yang saya terapkan dlm usaha saya. Kepercayaan pelanggan merupakan jaminan dalam sebuah usaha kan?

  10. aalinazar says:

    ini lagi ngomongin pertandingan 17 agustusan ya ?

  11. Abu Yusuf says:

    Wah, jadi ingat bukunya Ary Ginanjar “The ESQ Power” yang banyak cerita penggunaan nurani sebagai guidance kita dalam menjalankan kehidupan kita sehari-hari. Termasuk dalam berbisnis.
    Saya belum baca “Winners Never Cheat”, tapi kliatannya ada benang merah antara dua buku itu, tentang penggunaan nurani.
    Dulu, tempat kerja saya masih banyak hal-hal yang halam(halal + haram), tapi setelah dipikir-pikir lagi, buat apa, gak ada artinya.
    Akhirnya mulai menjauhi hal-hal tersebut, cuma ya itu tantangan dan godaannya luar biasa beratnya.
    Tapi pelan-pelan sudah bisa mulai dijalankan, walaupun banyak gonggongan kanan kiri, sudah mulai bisa diabaikan.
    Thanks, glad to know we have friend on the same path

  12. Guntar says:

    Daniel:
    Habis makan permen karet ya maksudnya :mrgreen:

    Since:
    Sepakat sekali, mbak Since. Dan butuh kejujuran berulangkali untuk memupuk reputasi terpercaya πŸ™‚

    Aalinazar:
    Klo pertandingan 17an mah, makin curang malah makin asyik. Soale kompetisnya larinya jadi ke guyonan. Enak, mbikin makin akrab πŸ˜›

    Abu Yusuf:
    Salut buat sampean 8). Gonggongan kanan kiri tu emg berat. Apalagi hasil dari penggunaan nurani ini bisa jadi ndak datang dengan segera. Inilah tantangannya.
    Di manapun kita berbisnis dan berinteraksi, pastikan kita punya satu komunitas khusus yang tetap bisa menjaga diri kita dari tercemar. Karena nggak semua dari kita mampu jadi ikan di lautan; yang dagingnya tetap tawar meski hidup di lautan yang asin.

  13. kamale says:

    hmm.. bisnis dgn cara ‘gak beres’ di jaman sekarang kayaknya sudah hampir semua. Mayoritas perusahaan, bahkan mereka punya budget khusus, yang itu digunakan untuk memberi “pelicin” kepada para customernya.
    Ada budget khusus, dan mereka anggap itu wajar, dan harus.
    Kalo gak gitu, bakal gak dapet project katanya..

    Iya semoga senantiasa bisa tetap “tawar” walau kita hidup di asinnya air laut.. πŸ™‚

  14. haikal00 says:

    cari yang haram aja susah, apalagi cari yang halal
    dibalik aja:
    kalo dua-duanya susah, ngapain pilih yang haram? he he he..

    tp njalaninnya sih ga gampang…

  15. Guntar says:

    Kamale:
    Walah; ati2 lho, Mal. Kok koyok2e desperate ngono. Eling lho, Kamal juga mo jadi entrepreneur kan πŸ™‚ So, jangan kemakan ama Bandwagon dan OverGeneralization. Biarlah mereka smua kayak gitu, tapi kita ndak usah ikut2an spt itu. Dan ternyata lebih gampang utk tegas thd nilai klo kita dah punya bisnis sendiri. Makanya, Mal. Ndang buka bisnis dhewe hayo :mrgreen:

    Haikal:
    Sepakats! 8)
    Sing repot tu klo ketemu wilayah abu2; masih binun ini boleh apa nggak. Dan dari pengalaman, kadang saya malah ndak nyadar apakah suatu fenomena tertentu perlu dimaknai dan dievaluasi halal-haramnya apa nggak :roll:. Baru ketauan beberapa waktu sesudahnya pas lakukan evaluasi diri atau stelah dapet pencerahan dari senior bisnis.

  16. kamale says:

    oo.. itu menurut masGun nada desperate tho?? Moso’ seh ya?? Kok aq biasa saja.. πŸ™‚
    btw ttg ini http://en.wikipedia.org/wiki/Argumentum_ad_numerum
    bagus masGun.
    Sadar atau tanpa sadar, sebenarnya hal ini sudah banyak terjadi dlm beberapa aspek.

    Tapi insyaAllah aq belum sampe kena (dan insyaAllah gak akan kena! aamiin). Sering banget dpt tawaran gitu dari vendor, dan so far, bisa menghindar.. πŸ˜‰

    Btw seperti yg pernah aq bilang di awal kerja dulu, bahwa dunia kerja “seringkali” (bukan generalisasi lho) bikin otak ini jadi “jamuran”..
    Sayang kalo belum bisa gali potensi optimal (atau mgkn ada “something wrong” di tempat kerja sini yaa.. hehe.. :D)

    Semoga akhir tahun ini sudah gak disini lagi πŸ˜›
    Cukup 2 tahun deh.. πŸ˜‰

  17. Goio says:

    Mas Guntar, aku bilang filsafat karena sampai saat ini aku sendiri masih lebih sering gak bener-nya daripada benar-nya.. trus ada yang lebih bikin puyeng nih mas Guntar… sebenernya mana yang lebih bagus *kalau harus memilih*, melakukan yang baik, atau melakukan yang benar?… karena yang baik itu tidak selalu benar, begitu juga sebaliknya …

    pusying?… sama.. aku juga pusying pas mbaca lagi komenku ini :D… jadi intinya apa sih goi?

  18. r munadji says:

    wah…penggemar kucing ya kok punya sampe 13 …. dulu saya cuma 12…

  19. r munadji says:

    wah…penggemar kucing ya kok punya sampe 13 …. dulu saya cuma 12… eh kok gak bisa submit?

  20. Jauhari says:

    Mas kok KETOE ceriratane tempat kerjone sampean MANTAP ngono? emang kerjo ndek opo sih? bukannya cari PEMBANDING… tapi koyoke MANTEP ngono loo…..

  21. Saya pun sudah membaca buku ini. Seorang pengikut “mormon,” kalau tidak salah masih dilarang di Indonesia (benar begitu?), yang sukses membangun usaha dengan etika bisnis yang hebat yang dia dengar semasa kanak-kanaknya, “Winners Never Cheat, Cheaters Never Win.”.

    Pengalaman Jon M. Hunstman berbisnis di Thailand yang korup membuatnya tidak betah disana, (lupa di bab mana, he3). Mungkinkah dia juga enggan berbisnis di Indonesia yang notabene sama atau mungkin lebih korup dari Thailand? Ironinya disini, mormon yang dianggap sesat ternyata lebih bernurani.

Trackbacks/Pingbacks

  1. blogombal : catatan ringan angin-anginan » Blog Archive » Sekarang Beli di Saya, Setelah itu di Dia - [...] Tapi apa saja sih patokan etika bisnis? Kalau kita bilang nurani, termasuk nuraninya Siti Nuraini, itu pun masih belum…
  2. budiwijaya.or.id - Jujur itu mudah Jujur itu mudah, tapi jadi begitu sulit ketika ada unsur uang dan kesempatan didalamnya. Saya tahu, ini…
  3. AkhmadGuntar dot com » Blog Archive » Migrasi Post dari BintangTauladanβ„’ - [...] Jadi Pemenang Tanpa Curang Cari uang tu gak gampang. Cari yg haram aja susah, apalagi cari yg halal? Sok…

Leave a Reply