Bilamana Facebook Bisa Menyengsarakan Anda

Facebook bikin sedih

Daniel Gulati, saat menulis Passion & Purpose, menemukan betapa Facebook telah membuat banyak orang jadi merasa sengsara. Dalam riset yang dilakukannya, tampak betapa di balik aktivitas menyukai (like), mengomentari, membagi dan memposting, terdapat tendensi kuat untuk merasa iri, cemas, dan bahkan depresi. Dalam salah satu interview yang dia lakukan, ada responden yang berkata, “Meskipun dia teman baikku, aku merasa risih dan gak suka dengan status update-nya.”

Daniel Gulati temukan tiga dampak buruk dari Facebook; bagaimana Facebook bisa menyengsarakan kita. Mari kita tilik bersama:

Pertama, Facebook membuat kita membanding-bandingkan sehingga tampak jelas —dalam istilah saya— “beda nasib” di antara kita.

Karena yang jadi editor di status update Facebook adalah diri kita masing-masing, maka ada tendensi bias yang besar untuk berbagi perihal yang baik-baik saja. Sementara perihal yang datar dan boring, atau bagian yang negatif sengaja disembunyikan. Tentu saja ini wajar, bukan. Maka mari kita bayangkan dampaknya.

Dengan posting update semisal, “Horee, aku baru dipromosikan dan naik gaji! Yes yes yes! :-)” atau “Mobil baru niiih. Alhamdulillah” atau “Syip syip, setelah susyah payah, akhirnya dapet juga iPad 3 dari relasi di Aussie” atau “Syiiik, lagi di Paris niiih!” Ini bisa menciptakan budaya kompetisi online dan membanding-bandingkan nasib. Mereka yang punya semangat kompetitif kuat akan selalu merasa “panas” ketika melihat relasi/temannya mendapat perihal baik. Dia juga ingin menyamai atau menyaingi. Minimal, dia bisa merasa kurang suka dengan status update itu. Dia bisa jadi bimbang dg ukuran sukses yang sebelumnya dia punya dan yakini.

Dan kita tahu, membanding-bandingkan nasib dengan orang yang (kelihatannya) lebih sukses/beruntung, itu adalah rumus manjur untuk merasa gerah dan sengsara. Padahal kita juga tidak tahu apakah yang bersangkutan itu sebenarnya punya sisi kehidupan yang datar, membosankan, dan bahkan menyedihkan.

Kita memang rata-rata kurang pandai menilai kebahagiaan orang lain yang sesungguhnya. Banyak orang di Facebook hanya akan membagikan apa-apa yang membuat mereka jadi tampak keren, pintar, sukses, dan seterusnya. Tapi bukankah setiap kita punya masalah, seberapapun suksesnya kita. Dan bahkan tidak mengapa bila ukuran/definisi “sukses” kita tetap berbeda dari orang lain.

Kedua, Facebook memfragmentasi waktu dan menurunkan produktivitas kita.

Sibuk mengakses Facebook dari smartphone, iPad atau device apapun di manapun berada dan kapan saja, membuat orang-orang jadi tidak betul-betul “ada di tempat”. Entah saat kuliah atau saat mendengarkan presentasi, Facebook tak bisa lepas di tangan, bahkan ketika berlalu lintas yang begitu berisiko bawa celaka di jalan.

Jikapun kita hilangkan faktor celaka fisik yang sesungguhnya, aktivitas berkali-kali mengecek smartphone untuk Social Media memunculkan gejala “tabbing” (saya rasa ini maksudnya semacam pindah-pindah tab ketika kita misal gunakan browser, red)  yang berdampak pada adanya “switching cost” yang besar. Switching cost di sini diasosiasikan dengan inefisiensi akibat perpindahan dari satu task ke task yang lain. Ketika Social Media sudah menjadi distraksi akibat memakan waktu produktif kita, maka hasil kerja pun jadi memburuk dan rasa penghargaan diri terkait hasil kinerja pun berkurang.

Ketiga, memburuknya kemampuan menjalin hubungan dekat di dunia nyata

Saya rasa ini jadi terkait dengan tulisan kemarin. Hilang sudah hari-hari di mana Facebook sekedar jadi komplementer dari hubungan sesungguhnya di dunia nyata. Salah satu partisipan riset mengatakan: “Kita ber-chat Facebook alih-alih tatap muka; itu lebih mudah dan praktis.”

Ketika Facebook sudah menambahkan fitur video chat, jadi ada godaan untuk mengurungkan temu tatap muka, mulai dari untuk kepentingan bisnis hingga keluarga.  Kepedulian akan hal ini perlu lebih ditekankan terhadap anak muda, di mana keberadaan social media menimbulkan pertanyaan: apakah itu bisa membuat anak-anak muda makin mampu bersikap suportif dan terhubung erat satu sama lain, ataukah kualitas hubungan mereka jadi menurun (lebih suka SMS dan chat daripada tatak muka) karena berkurangnya keintiman yang didapat dari tatap muka.

Profesor Parker, Profesor Psikologi di Universitas Alabama katakan bahwa perihal ini jadi pertanyaan penting. Bagi anak-anak, pertemanan akrab di masa kecil akan membangun kemampuan sang anak dalam membangun kepercayaan pada orang-orang di luar keluarga mereka, hingga pada akhirnya membantunya dalam meniti usia dewasa yang matang dalam menjalin hubungan. Maka jika anak-anak jarang melihat ekspresi wajah dan nuansa emosi apapun dalam tatap muka —gara-gara social media— jangan-jangan itu akan berpengaruh pada kemampuan mereka dalam menjalin hubungan dan membangun sikap percaya pada orang.

 

Baik, itu pendapat Daniel Gulati. Anda mungkin punya pengalaman dan pendapat berbeda. Apapun, semua yang di atas saya kira layak jadi bahan renungan.

banner ad

2 Responses to “Bilamana Facebook Bisa Menyengsarakan Anda”

  1. merry says:

    Walaupun punya beragam sisi negatif, Facebook masih tetap memiliki sisi positif.

    • Guntar says:

      Sepakat sekali, mbak Merry. Harusnya malah bisa lebih banyak sisi positifnya kan ya 🙂
      Maka tinggal gimana kita menyikapinya, dan bagaimana kita jadikan diri kita ini sebagai bagian yg mbikin facebook jadi membaikkan.

Leave a Reply